Social Icons

Pages

Featured Posts

Tuesday, July 4, 2017

Ihram dan tata caranya



Setelah kita mengenal dan tahu tembat untuk bermiqat selanjutnya kita akan belajar tentang apa yg harus dikerjakan setelah jamaah haji  sampai kemiqa yaitu ihram, agar para jamaah haji bisa melakukan ibadah haji dengan sempurna maka alangkah baiknya untuk mengetahui apa itu ihram dan tata caranya.

PENGERTIAN IHRAM
Kata ihram diambil dari bahasa arab, dari kata “Al-haram” yang bermakna terlarang atau tercegah. Dinamakan ihram karena seseorang yang masuk kepada kehormatan ibadah haji dengan niatnya, dia dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu, seperti jima’, menikah, berucap ucapan kotor, dan lain-sebagainya. Dari sini dapat diambil satu definisi syar’i bahwa ihram adalah salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah) atau kedua-duanya secara bersamaan [1].

Berdasarkan ini, jelaslah kesalahan pemahaman sebagian kaum muslimin bahwa ihram adalah berpakaian dengan kain ihram, karena ihram adalah niat masuk ke dalam haji atau umrah, sedangkan berpakaian dengan kain ihram hanya merupakan satu keharusan bagi seorang yang telah berihram.

TATA CARA IHRAM
Telah diketahui bersama bahwa seorang yang berniat melakukan haji atau umrah, diharuskan mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melaksanakan hal tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh hadits-hadits yang shohih, sebagai pengamalan darihadits Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ

“Ambillah dariku manasik kalian”.

1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan, baik dalam keadaan suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiyallahu ‘anhu.

فَخَرَجْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَيْنَا ذَاالْحُلَيْفَةِ فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِيْ بَكْرٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ : اغْتَسِلِيْ وَاسْتَثْفِرِِيْ بِثَوْبٍ وَ احْرِمِيْ

“Lalu kami keluar bersama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tatkala sampai di Dzul Hulaifah, Asma binti ‘Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr, lalu ia (Asma) mengutus (seseorang untuk bertemu) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan berkata): ‘Apa yang aku kerjakan? Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Mandilah dan beristitsfarlah [2] kemudian ihram.” [Riwayat Muslim (2941) 8/404, Abu Daud no.1905, 1909 dan Ibnu Majah no.3074]

Apabila tidak mendapatkan air maka tidak perlu bertayammum, karena Allah Subhanahu wa Ta’alal menyebutkan tayamum dalam bersuci dari hadats sebagaimana firmanNya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدُُ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); ” [Al Maidah :6]

Maka hal ini tidak bisa dianalogikan (dikiaskan) kepada yang lainnya, juga tidak ada contoh atau perintah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertayammum, apalagi kalau mandi ihram tersebut bertujuan untuk kebersihan. Memang perintah mandi tersebut adalah untuk kebersihan, dengan dalil perintah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Asma bintu Umais yang sedang haidh untuk mandi sebagaimana dalam hadits diatas.

2. Disunnahkan memakai minyak wangi ketika ihram, sebagaimana dikatakan oleh ‘Aisyah.

كُنْتُ أُطَيِّبُ النَّبِيَّ لإِحْرَامِهِ قَبْلَ أَنْ يُحْرِمَ وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوْفَ بِاْلبَيْتِ.

“Aku memakaikan wangi-wangian kepada nabi untuk ihramnya sebelum berihram dan ketika halalnya sebelum thawaf di Ka’bah” [HR. Bukhary no.1539 dan Muslim no. 1189].

Dan hal itu hanya diperbolehkan pada anggota badan, bukan pada pakaian ihram, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَلْبِسُوْا ثَوْبًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَ لاَ الْوَرْسُ

“Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za’faran dan wars.” [Muttafaqun alaih].

Kalau kita meninjau permasalahan memakai minyak wangi pada ihrom maka terdapat dua keadaan:
1. Memakainya sebelum mandi dan berihram, ini diperbolehkan.
2. Memakainya setelah mandi dan sebelum ihram, dan minyak wangi tersebut tidak hilang sampai setelah melakukan ihram. Ini dibolehkan oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan pendapatnya.

Dalil dibolehkannya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha.

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ يَتَطَيَّبُ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ ثُمَّ أَرَى وَبِيْصَ الدَّهْنِ فِيْ رَأْسِهِ وَ لِحْيَتِهِ بَعْدَ ذَلِكَ رواه مسلم

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau ingin berihram memakai wangi- wangian yang paling wangi yang beliau dapatkan kemudian aku melihat kilatan minyak di kepalanya dan jenggotnya setelah itu”.[HR.Muslim no.2830 ].

Dan Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata pula:

كَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلَى وَبِيْصَ اْلمِسْكِ فِيْ مَفْرَقِ رَسُوْلِ اللهِ وَ هُوَ مُحْرِمٌ

“Seakan akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau dalam keadaan ihram “. [HR. Muslim no. 2831 dan Bukhari no. 5923].

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ditanya tentang dua permasalahan seputar pemakaian minyak wangi dalam ihram yaitu:

1. Apabila seseorang memakai wangi-wangian di badannya yaitu di kepala dan jenggotnya, lalu minyak wangi tersebut menetes atau meleleh ke bawah, apakah hal ini berpengaruh atau tidak?

Jawab.
Tidak berpengaruh, karena perpindahan minyak wangi tersebut dengan sendirinya dan tidak dipindahkan, dan juga karena tampak pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut menetes karena mereka memakainya pada keadaan yang dibolehkan.[3]

2. Kemudian jika seorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu dan dia telah mamakai minyak rambut yang wangi, maka tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, jika dia lakukan maka akan menempellah minyak tersebut pada kedua telapak tangannya walaupun hanya sedikit, maka apakah perlu memakai kaos tangan ketika akan mengusap kepala tersebut?

Jawab.
Tidak perlu, bahkan hal itu berlebih-lebihan dalam agama dan tidak ada dalilnya, demikian juga tidak perlu mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit, cukup dia mengusapnya dengan telapak tangannya karena ini termasuk yang dimaafkan. [4]

3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung dan selendang, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لِيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِىْ إِزَارٍ وَ رِدَاءٍ وَ نَعْلَيْنِ

“Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan menggunakan sarung dan selendang serta sepasang sandal.” [HR. Ahmad 2/34 dan dishahihkan sanadnya oleh Ahmad Syakir]

Diutamakan yang berwarna putih berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

خَيْرُ ثِيَابِكُمُ اْلبَيَاضِ فَالْبَسُوْهَا وَكَفِّنُوْا فِبْهَا مَوْتَكُمْ

“Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka kenakanlah dan kafanilah mayat kalian padanya” [HR. Ahmad, lihat Syarah Ahmad Syakir 4/2219, dia berkata: isnadnya shahih]

Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Manasik (hal. 21): “Disunnahkan berihram dengan dua kain yang bersih, jika keduanya berwarna putih maka itu lebih utama. Dan dibolehkan ihram dengan segala jenis kain yang di mubahkan dari katun shuf (bulu domba) dan lain sebagainya. Juga dibolehkan berihram dengan kain warna putih dan warna-warna yang diperbolehkan yang tidak putih, walaupun berwarna-warni”. [5]

Sedangkan bagi wanita tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan.

4. Disunahkan berihram setelah shalat, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar dalam shahih Bukhary bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَتَانِيْ الَّليْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّيْ فَقَالَ : صَلِّ فَىْ هَذَا الْوَادِىْ الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةً فِىْ حَجَّةٍ

“Tadi malam utusan dari Rabbku telah datang lalu berkata: “Shalatlah di Wadi (lembah) yang diberkahi ini dan katakan: “Umrotan fi hajjatin.”

Dan hadits Jabir Radhiyallahu anhu :

فَصَلَّىْ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ الْمَسْجِدِ ثُمَّ رَكِبَ الْقَصْوَاءَ حَتَّى إِذَا اسْتَوَتْ بِهِ نَاقَتَهُ عَلَىْ الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ بِالْحَجِّ

“Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di masjid (Dzulhulaifah) kemudian menunggangi Al-Qaswa’ (nama onta beliau) sampai ketika ontanya berdiri di al-Baida’ , beliau berihram untuk haji”. [HR.Muslim].

Maka yang sesuai dengan Sunnah, lebih utama dan sempurna adalah berihram setelah shalat fardhu, akan tetapi apabila tidak mendapatkan waktu shalat fardhu maka terdapat dua pendapat dari para ulama:

Pendapat Pertama : Tetap disunnahkan shalat dua rakaat dan ini pendapat jumhur berdalil dengan keumuman hadits Ibnu Umar.

صَلِّ فَىْ هَذَا الْوَادِىْ

(shalatlah di Wadi ini)

Pendapat Kedua : Tidak disyariatkan shalat dua rakaat, ini pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sebagaimana beliau katakan dalam Majmu’ Fatawa 26/108: “Disunnahkan berihram setelah shalat, baik fardhu maupun tathawu’ (sunnah) kalau ia berada pada waktu (shalat) tathawu’ (sunnah) menurut salah satu dari dua pendapat. Pada pendapat yang lain: kalau dia shalat fardhu maka berihram setelahnya, dan jika tidak maka tidak ada shalat yang khusus bagi ihram dan ini yang rajih.”

Dan beliau berkata di dalam Ikhtiyarat hal. 116: “Dan berihram setelah shalat fardhu, kalau ada, atau (setelah shalat) sunnah (nafilah), karena ihram tidak memiliki shalat yang khusus.”

5. Berniat untuk melaksanakan salah satu dari tiga manasik, dan niat tersebut disunnahkan untuk diucapkan. Yaitu dengan memilih salah satu dari bentuk ibadah haji: ifrad, qiran dan tamatu’ sebagaimana yang dikatakan Aisyah Radhiyallahu ‘anha.

خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ عُمْرَةٍ وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ أَهَلَّ رَسُوْلُ اللهِ بِحَجٍّ فَأَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ فَحَلَّ عَنْهُ بَعْدَ قُدُوْمِهِ وَ أَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ أَوْ جَمَعََ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَلَمْ يَحِلُّوْا حَتَّى كَانَ يَوْمَ النَّحَرِ (متفق عليه)

“Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun haji wada’ maka ada diantara kami yang berihram dengan umrah dan ada yang berihram dengan haji dan umrah dan ada yang berihram dengan haji saja, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berihram dengan haji saja, adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal setelah datangnya [6] dan yang berihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan umrah tidak halal (lepas dari ihramnya) sampai dia berada dihari nahar [7]. [Mutafaq alaih]

Seorang yang manasik ifrad mengatakan:

لَبَيْكَ حَجًَّا atau لَبَيْكَ الَّلهُمَّ حَجًّا

dan seorang yang manasik tamatu’ mengatakan:

لَبَيْكَ عُمْرَةً atau لَبَيْكَ الَّلهُمَّ عُمْرَةً

dan ketika hari tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan:

لَبَيْكَ حَجًّا atau لَبَيْكَ الَّلهُمَّ حَجًّا

dan sunnah yang manasik Qiran menyatakan:

لَبَيْكَ عُمْرَةً و حَجًّا

6. Talbiyah yaitu membaca:

لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَنِعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Labbaika Allahumma labbaik labbaika laa syariika laka labbaik Innal hamda wani’mata laka wal mulk laa syariikaa laka dan yang sejenisnya.

6.1. Waktu Talbiyah
Waktu talbiyah dimulai setelah berihram ketika akan melakukan perjalanan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hajinya, berkata Jabir Radhiyallahu ‘anhu.

حَتَّى إِذَا اسْتَوَتْ بِهِ نَاقَتَهُ عَلَىْ الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ بِالْحَجِّ فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيْدِ لَبَّيْكَ اللهم لَبَّيْكَ ……

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai membaca talbiyah ketika telah tegak ontanya di al-Baida beliau ihlal (ihram) dengan haji lalu bertalbiyah dengan tauhid, labbaika allahumma labaik ……” [HR Muslim]

6.2. Bacaan Talbiyah
Adapun bacaan talbiyah yang ma’tsur dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
a.
لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ ,لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَنِعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
b.
لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَ سَعْدَيْكَ وَ الْخَيْرُ بِيَدِكَ وَ الرُّغَبَاءُ إِلَيْكَ وَ الْعَمَلُ (متفق عليه من تلبية ابن عمر
c.
لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ , لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَنِعْمَةَ لَكَ (عن عائشة رواه البخارى

d. Talbiyah yang nomor “a” ditambah kalimat:

لَبَّيْكَ ذَا الْمَعَارِجِ لَبَّيْكَ ذَا اْلفَوَاضِلِ (حديث جابر رواه مسلم)

6.3. Sebab dan maknanya
Sebab disyariatkannya talbiyah adalah dalam rangka menjawab panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana dalam al-Qur’an surah al-Hajj ayat 27.

وَأِذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” [al-Hajj 22:27]

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata dalam menafsirkan : “Ketika Allah Azza wa Jalla memerintahkan Ibrahim Alaihissallam untuk mengkhabarkan manusia agar berhajji, dia berkata:

يَا أَيُّهَا النَّاِس إِنَّ رَبَّكُمْ اتَّخَذَ بَيْتًا وَ أَمَرَكُمْ أَنْ تَحُجُّوْهُ فَاسْتَجَابَ لَهُ مَا سَمِعَهُ مِنْ حَجَرٍ أَوْ شَجَرٍ أَوْ أَكْمَةٍ أَوْ تُرَابٍ أَوْ شَيْئٍ قَالَوْا لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ (رواه ابن جرير 17\106)

“Wahai manusia sesungguhnya Rabb kalian telah membangun satu rumah (ka’bah) dan memerintahkan kalian untuk berhaji kepadanya. Lalu apa saja yang mendengarnya, baik batu-batuan, pepohonan, bukit-bukit, debu atau apa saja yang ada, menerima panggilan beliau ini lalu mereka berkata لَبَيْكَ الَّلهُمَّ لَبَيْكَ …… [H.R Ibnu Jarir 17/106]

Ibnu Hajar berkata: ” Ibnu Abdil Barr berkata bahwa sejumlah dari Ulama menyatakan: “Makna Talbiyah adalah jawaban terhadap panggilan Ibrahim Alaihissallam ketika memberitahukan manusia untuk berhaji”. [9]

Adapun makna dari kata-kata dalam talbiyah tersebut adalah :
(اللهم) : Wahai Allah

(لَبَيْكَ) : Adalah penegas yang memiliki ma’na baru (lebih‎‎), maka saya mengulang-ulang dan menegaskan bahwa saya menjawab atau menerima panggilan Rabb saya dan tetap dalam keta’atan kepada-Nya

(لاَ شَرِيْكَ لَكَ) : Tidak ada satupun yang menyamai Engkau (Allah) dalam segala sesuatu

(لَبَيْكَ) : Sebagai penegas bahwa saya menerima panggilan haji tersebut karena Allah, bukan karena pujian, ingin terkenal, ingin harta, dan lain-lain, akan tetapi saya berhaji dan menerima panggilan tersebut karena Engkau saja.

(ِإنَّ الْحَمْدَ وَ الِّنعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ): Sesungguhnya saya berikrar dan mengimani bahwa semua pujian dan nikmat itu hanyalah milik-Mu demikian juga kekuasaan

(لاَ شَرِيْكَ لَكَ) :Yang semua itu tidak ada sekutu bagiMu

Kalau kita melihat makna kata-kata yang ada dalam talbiyah tersebut, didapatkan adanya penetapan tauhid dan jenis-jenisnya sebagaimana yang dikatakan oleh Jabir (أَهَلَّ بِالتَّوْحِيْدِ) (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertalbiyah dengan tauhid”). Hal ini tampak kalau kita mentelaah dan memahami makna kata-kata tersebut, lihatlah dalam kata-kata
(لَبَيْكَ اللهم لَبَيْكَ لَبَيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَيْكَ) terdapat peniadaan kesyirikan dalam peribadatan, kemudian (لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَيْكَ) terdapat tauhid rububiyyah karena kita telah menetapkan kekuasaan yang mutlak hanya kepada Allah Azza wa Jalla semata, dan hal itupun mengharuskan seorang hamba untuk mengakui terhadap tauhid uluhiyyah, karena iman kepada tauhid rububiyyah mengharuskan iman kepada tauhid uluhiyyah.

Dan dalam kata (إنَّ الْحَمْدَ وَ الِّنعْمَةَ لَكَ) terdapat penetapan sifat-sifat terpuji pada Dzat, dan bahwa perbuatan Allah Azza wa Jalla adalah hak, hal ini merupakan tauhid asma’ dan sifat Allah Azza wa Jalla.

Kalau demikian keharusan orang yang talbiyah maka dia akan selalu merasakan keagungan Allah dan akan selalu menyerahkan amal ibadahnya hanya untuk Allah semata bukan hanya sekedar mengucapkan tanpa dapat merasakan hakikat dari talbiyah tersebut.

6.4. Pelaksanaan Talbiyah
Talbiyah ini diucapkan dengan mengangkat suara bagi kaum laki-laki sebagaimana perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

أَتَانِيْ جِبْرِيْلُ فَأَمَرَنِيْ أَنْ آمُرَ أَصْحَابِيْ أَنْ يَرْفَعُوْا أَصْوَاتَهِمْ بِالتَّلْبِيَّةِ

“Jibril telah datang kepadaku dan dia memerintaahkanku agar aku memerintahkan sahabat-sahabatku agar mengangkat suara mereka dalam bertalbiyah”.

Dan tidak disyari’atkan bertalbiyah dengan berjama’ah, akan tetapi apabila terjadi kebersamaan dalam talbiyah tanpa disengaja dan tidak dipimpin maka hal itu tidak mengapa. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya bertalbiyah dalam satu waktu, padahal jumlah mereka sangat banyak, maka hal tersebut sangat memungkinan terjadinya talbiyah dengan suara yang berbarengan. Akan tetapi mengangkat suara dalam talbiyah ini jangan sampai mengganggu dan menyakiti dirinya sendiri sehingga dia tidak dapat terus bertakbir.

Sedangkan untuk wanita tidak disunahkan mengeraskan suara mereka bahkan mereka diharuskan untuk merendahkan suara mereka dalam bertalbiyah.

6.5. Waktu Berhenti Talbiyah.
Terdapat perbedaan pendapat para ulama dalam penentuan waktu berhenti talbiyah bagi orang yang berumroh atau berhaji dengan tamatu’ menjadi beberapa pendapat:

Pendapat Pertama: Ketika masuk Haram (kota Makkah), dan ini pendapat Ibnu Umar, Urwah dan Al Hasan serta mazdhab Maliki. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan An Nasa’ai yang lafadznya;

كَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا دَخَلَ أَدْنَىْ الْحَرَمِ أَمْسَكَ عَنْ التَّلْبِيَّةِ ثُمَّ يَبِيْتُ بِذِيْ طَيْ وَيُصَلِّى بِهِش الصُّبْحَ وَيَغْتَسِلُ وَيُحَدِّثُ أَنَّ النَّبِيْكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ

“Ibnu Umar ketika masuk pinggiran Haram menghentikan talbiyah, kemudian menginap di Dzi thuwa. Beliau sholat shubuh di sana serta mandi dan beliau berkata bahwa Nabipun berbuat demikian”

Pendapat Kedua: Ketika melihat rumah-rumah penduduk Makkah dan ini pendapat Said bin Al-Musayyib

Pendapat Ketiga: Ketika sampai ke Ka’bah dan memulai thawaf dengan menyentuh (istilam) hajar aswad, ini pendapat Ibnu Abbas, Atha’, Amr bin Maimun, Thawus, An-Nakha’i, Ats-Tsaury, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq serta mazdhab Hanafi. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Abbas secara marfu’:

كَانَ يُمْسِكُ عَنِ التَّلْبِيَّةِ فِيْ اْلعُمْرَةِ إِذَا اسْتَلَمَ الْحَجَرَ

“Dia menghentikan talbiyah dalam umoh setelah menyentuh (istilam) hajar aswad” [HR Abu Daud,At Tirmidzy dan Al Baihaqy, tetapi dilemahkan oleh Al-Albany dalam Irwa’ 4/297]

Dan juga hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dengan lafazh:

اعْتَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ ثلاثَا عُمَرَ كُلَّهَا فِيْ ذِيْ اْلقَعْدَةِ فَلَمْ يَزَلْ يُلَبِّيْ حَتَّى اسْتَلَمَ الْحَجَرَ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan umrah tiga kali, seluruhnya di bulan dzul qa’dah dan beliau terus bertalbiyah sampai menyentuh (istilam) hajar aswad” [HR Ahmad dan Baihaqi denan sanad yang lemah karena ada Hajaaj bin Abdullah bin Arthah dan dilemahkan oleh Al-Albanny dala Irwa’ 4/297]

Mereka juga berkata: “Karena talbiyah adalah memenuhi panggilan untuk ibadah maka dihentikan ketika memulai ibadah, yaitu thawaf.” Dan ini pendapat yang dirajihkan oleh Syaikul Islam [10] dan Ibnu Qudamah [11] akan tetapi yang rajih adalah pendapat pertama. Berdasarkan penjelasan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah juga melakukan hal itu, ini menunjukkan bahwa Ibnu Umar berlaku demikian karena melihat Rasululloh telah melakukan. Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Khuzaimah. [12]

Demikian juga waktu haji terdapat beberapa pendapat ulama.
Pertama : Menghentikannya ketika berada di Arafah setelah tergelincirnya matahari dan ini pendapat Aisyah, Sa’ad bin Abi Waqash, Ali, Al-Auza’i, Al-Hasan Al-Bashry dan madzhab Malikiyah. Berdalil dengan hadits:

الحَجُّ عَرَفَةُ

“Haji itu adalah wuquf di Arafah”

Maka kalau telah sampai Arafah, habislah pemenuhan panggilan, karena telah sampai kepada inti dan rukun pokok ibadah tersebut. Akan tetapi dalil ini lemah karena bertentangan dengan riwayat bahwa Rasululloh masih bertalbiyah setelah tanggal 9 Dzuljhijjah tersebut.

Kedua : Menghentikannya ketika melempar jumroh aqobah dan ini pendapat jumhur, akan tetapi mereka berselisih menjadi dua pendapat.

a. Menghentikan di awal batu yang di lempar dalam jumroh aqobah dan ini pendapat kebanyakan dari mereka, dengan dalil hadits Al-Fadl bin Al Abbas

كُنْتُ رَدِيْفَ النَبَيِ مِنْ جَمْعِ إِلَى مِنَى فَلَمْ يَزَلْ يُلَبِّيْ حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ (رواه الحماعة)

“Aku membonceng nabi dari Arafah ke Mina dan terus menerus bertalbiyah sampi melempar jumroh Aqobah”. [HR Jama’ah]

dan hadits Ibnu Mas’ud dengan lafadz:

خَرَجْتُ مَعَ رسول الله فَمَا تَرَكَ التَّلْبِيَّةَ حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ إِلاَّ أَنْ يُخلِطَهَا بِتَكْبِيْرِ أَوْ تَهْلِيْلٍ.

“Aku berangkat bersama Rasulullah dan beliau tidak meninggalkan talbiyah sampai beliau melempar jumrah Aqobah agar tidak tercampur dengan tahlil atau takbir” [HR Thohawi dan Ahmad dan sanadnya dihasankan oleh Al-Albani dalam Irwa’, /2966].

Pendapat ini dirajihkan oleh Syakhul Islam Inu Taimiyah dan beliau menyatakan: Dan secara ma’na, maka seorang yang telah sampai Arafah- walaupun telah sampai pada tempat wuquf ini- maka dia masih terpanggil setelahnya kepada tempat wukuf yang lainnya yaitu Muzdalifah dan kalau dia telah wukuf di Muzdalifah maka dia terpanggil untuk melempar jumrah, dan kalau telah memulai dalam melempar jumrah maka telah selesai panggilannya [Majmu’ Fatawa 26/173]

b. Menghentikannya di akhir lemparan dalam Jumrah Aqabah, ini pendapat Ahmad dan sebagian pengikut Syafi’i serta dirojihkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan dalil lafadz hadits Fadhl.

أَفَضْتُ مَعَ النَّبِي n مِنْ عَرَفَةَ فَلَمْ يَزَلْ يُلَبِّي حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ يُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حِصَاةٍ ثُمَّ قَطَعَ التَّلْبِيَّةَ مَعَ آخِرِ حِصَاةٍ (رواه ابو خزيمة)

“Aku telah keluar bersama Nabi dari Arafah lalu beliau terus bertalbiyah ampai melempar jumroh Aqobah, Beliau bertakbir setiap lemparan batu, kemudian menghentikan talbiyah bersama akhir batu yang dilempar” [HR Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya dan beliau berkata :” ini hadits shahih yang menjelaskan apa yang belum jelas dalam riwayat- riwayat yang lain].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Muzakirat syarah umdah hal 65 dan syarhul mumti’ 6/67
[2]. Istitsfar adalah suatu usaha untuk mencegah keluarnya darah dari kemaluan orang yang haidh atau nifas dengan cara mengambil kain yang memanjang yang diletakkan pada tempat darah tersebut dan dilapisi oleh bahan yang tidak tembus darah yang diambil ujung-ujungnya untuk diikatkan di perutnya. Tetapi pada zaman sekarang ini telah ada softex (pembalut wanita) yang dapat menggantikannya . Lihat Syarah Muslim 8/404


Sumber: https://almanhaj.or.id

Sunday, July 2, 2017

Tempat miqat bagi jamaah Haji



Ramadhan 1438 baru saja kita lewati selanjutnya kaum muslimin akan menyambut musim ibadah haji,persiapn mulai dilaksanakan disetiap negar muslim tak terkecuali Indonesia sebagai Negara muslimm terbesar dan selalu mendapat jatah kuota terbanyak,manasik haji dipersiapkan disetiap daerah dengan harapan calon jamaah haji akan bisa menjlankan haji dengan lancer dan membawa pulang haji mabrur.diantara hal yang perlu diketahui para calon jamaah haji adalah pengetahuan tentang MIQAT.dibawah ini akan dijelaskan tentang miqat.
Miqat Makani dan Miqat zamani
Miqat makani ialah tempat yang dijadikan batas untuk memulai ihram haji/umrah. Miqat makani ada 5tempat yaitu
a. Dzulhulaifah (Bir Ali), bagi penduduk Madinah dan yang melewatinya.
b. Juhfah, sebagai miqatnya penduduk Syam dan yang melewatinya.
c. Qarnul manazil (As-Sail), Miqatnya penduduk Najed dan yang melewatinya
d. Yulamlam sebagai miqatnya penduduk Yaman dan yang melewatinya
e. Dzatul Irqin, miqatnya penduduk Iraq dan yang melewatinya.
tempat-tempat tersebut telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW.
sebagai miqat makani untuk berhaji umrah bagi penduduk dan bagi setiap orang yang melewatinya walaupun bukan termasuk penduduknya. Bagi yang tidak melewati salahsatu kelima miqat di atas, maka dapat mengambil dengan perkiraanjarak sejauh 2 marhalah (80,4 km) dari Makkah (l'anatut Thalibin Juz ll hal 303). Bagi jamaah haji Indonesia yang datang ke Arab Saudi dengan pesawat udara miqatnya adalah Bir Ali di madinah atau Bandara King Abdul Aziz Jeddah bagi yang langsung ke Makkah, sesuai dengan keputusan fatwa MUI tanggal 29 Maret 1980 12 Jumadil Awal 1404 H dan fatwa Syekh Abdullah Bin Zaid Al-Mahmud ketua Mahkamah syar'iyyah Negara Qatar.
Sedangkan miqat zamani ialah batasan waktu untuk melaksanakan ibadah haji. Untuk haji menurut Jumhurul Ulama mulai tanggal 1 Syawwal sampai terbit Fajar tanggal 10 Dzulhijjah Sedang untuk Umrah, setiap waktu sepanjang tahun.
Apabila orang yang sudah Ihram dari Miqat, akan tetapi karena suatu hal terpaksa membatalkan ihramnya maka wajib membayar dam.
demikian sedikit penegtahuan tentang miqat semoga menambah pengetahuan bagi kita dan bermanfaat khususnya bagi para calon jamaah haji dan bagi kaum muslimin umumnya. 

Friday, June 30, 2017

Kekuatan Istighfar


Sebagai manusia tentunya kita tak akan lepas dari yang namanya kesalahan,baik kesalahan kepada sesama mahluk ataupun kesalahan terhadap Alloh swt karena meninggalkan perintahnya dan melakukan maksiat kepadaNya.kesalahan kesalahan yang kita perbuat bisa di ibaratkan titik hitam yang menempel pada hati kita yang bening dan bersinar,semakin banyak kesalahan dan dosa yang kita perbuat maka titik hitam itu akan bertambah dan merubah hati yang bening bersinar menjadi hitam tanpa cahaya dan kalau dibiarkan maka hati akan menjadi mati na’udzubillah min dzalik.

Dosa yang semakin menumpuk akan semakin menjauhkan kita dari Alloh hal ini menjadikan doa yang kita panjatkan akan susah terkabul dan iman semakin berkurang dan bahkan bisa mendatangkan kesulitan hidup dan azab Alloh .maka dengan cara beristighfar Alloh akan mngampuni dosa kita dan memberika manfaat yang luar biasa sebagaimana kisah dibawah ini.

Imam Al-Qurthubi menyebutkan sebuah cerita dari Ibnu Shabih, bahwasanya suatu hari ada seorang laki-laki mengadu kepada Hasan Al-Bashri tentang kegersangan atau kemarau panjang yang ia alami, maka Hasan Al-Bashri berkata kepadanya, “Beristighfarlah kepada Alloh!”. Lalu datang lagi orang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan, maka ia berkata kepadanya, “Beristighfarlah kepada Alloh!”.

Kemudian datang lagi orang lain memohon kepadanya, “Do’akanlah aku kepada Alloh, agar Ia memberiku anak!”, maka ia menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah!”. Hingga ketika datang lagi yang lain mengadu kepadanya tentang kekeringan yang melanda kebunnya, Hasan Al-Bashri tetap menjawab dengan jawaban yang sama, “Beristighfarlah kepada Allah!”.

Maka Ibnu Shabih bertanya kepadanya, “Banyak orang yang mengadukan macam-macam (perkara) dan Anda memerintahkan mereka semua untuk beristighfar?. Lalu Hasan Al-Bashri menjawab, “Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Alloh telah berfirman dalam surat Nuh:

Yang artinya: “Mohonlah ampun kepada Rabb kalian, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai- sungai”. (QS.Nuh : 10-12).

Salah satu istighfar yang dicontohkan Rosululloh saw adalah dengan membaca doa dibawah ini



Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى خَطِيئَتِى وَجَهْلِى وَإِسْرَافِى فِى أَمْرِى وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّى اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى جِدِّى وَهَزْلِى وَخَطَئِى وَعَمْدِى وَكُلُّ ذَلِكَ عِنْدِى
Allahummagh-firlii khothii-atii, wa jahlii, wa isrofii fii amrii, wa maa anta a’lamu bihi minni. Allahummagh-firlii jiddi wa hazlii, wa khotho-i wa ‘amdii, wa kullu dzalika ‘indii
(Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kejahilanku, sikapku yang melampaui batas dalam urusanku dan segala hal yang Engkau lebih mengetahui hal itu dari diriku. Ya Allah, ampunilah aku, kesalahan yang kuperbuat tatkala serius maupun saat bercanda dan ampunilah pula kesalahanku saat aku tidak sengaja maupn sengaja, ampunilah segala kesalahan yang kulakukan)


dengan mengamalkan doa tersebut diatas insyaalloh kita akan mendapatkan banyak manfaat dan keutamaan dari kekuatan istighfar.