Social Icons

Pages

Friday, July 5, 2013

Metode Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan




Kemajemukan bangsa kita memang merupakan sebuah kekayaan yang mungkin tidak di miliki bangsa lain ,dari begitu banyak ,bahasa ,adat istiadat dan kebudayaan ,menimbulkan pola keanekaragaman masyarakat.di samping itu juga dapat kitasaksikan ormas islam bertebaran di mana mana membawa symbol dan aspirasi kelompok dan organisasi masing masing.hal ini menyebabkan perbedaan pendapat yang signifikan diantaranya dalam menentukan awal dan akhir ramadhan.

Diantara deretan Negara islam di dunia mungkin hanya satu Indonesia yang mempunyai awal ramdhan dan hari raya idul fitri yang berbeda beda sampai tiga  hari bangkah mungkin 4 hari.hal ini di sebakan penentuan awal puasa yang berbeda menurut keyakinan kelompok masing masing.karena masing masing merasa paling benar tidak mau duduk bersama memutuskan untuk semua warga muslim Indonesia.
Kita sejenak lupakan tema diatas mari kita mencoba mempelajari bagaimana metode penetapan awal dan akhir ramadhan.Negara kita dari beberapa ormas yang ada memiliki metode yang berbeda dalam penentuan awal ramadhan ,diantaranya adalah:

1.Penetapan dengan hisab melalui pendekatan wujudul hilal.
Artinya awal Ramadhan dan awal Syawal ditetapkan berdasarkan perhitungan hisab ,asalkan posisi hilal berada di atas ufuk berapa pun derajat tingginya, walaupun kurang dari 0,5 derajat, dan walaupun hilal tidak dapat dilihat dengan mata kepala, karena yang penting hilal sudah wujud. Jadi rukyatul hilal bil fi’li tidak perlu dilakukan dalam penetapan awal atau akhir bulan.

2.Penetapan dengan hisab melalui pendekatan imkanur rukyat.
Artinya awal Ramadhan dan awal Syawal ditetap-kan berdasarkan perhitungan hisab asalkan posisi hilal berada pada ketinggian yang mungkin dirukyat (imkanur rukyat). Pada umumnya, mereka yang berpendapat seperti ini menetapkan bahwa hilal yang imkan dirukyat minimal berada pada posisi dua derajat. Oleh karena itu, apabila posisi hilal kurang dari dua derajat tidak imkan dirukyat dan tidak bisa ditetapkan sebagai awal Ramadhan dan awal Syawal, sehingga awal ramadhan dan awal Syawal ditetapkan pada hari berikutnya.

3.Penetapan dengan rukyat bil fi’li.
Artinya awal ramadhan dan awal Syawal harus tetap didasarkan pada melihat bulan sabit. Hisab hanya berfungsi sebagai pemandu dalam melakukan rukyat bil fi’li agar rukyat yang dilakukan menjadi efektif. Sekalipun demikian, tidak setiap syahadah atau rukyat bil fi’li bisa diterima. Syahadah atau rukyat bil fi’li yang bisa diterima adalah apabila posisi hilal berada di atas ufuk. Apabila posisi hilal di bawah ufuk, maka harus ditolak.

Untuk itu lebih baiknya kita belajar dari rosulullah tentang bagaimana penentuan yang tepat untuk menentukan awal ramadhan ini,rosulullah dalam menjalankan ibadah puasa selalu menggunakan ru’yah Alhilal atau ikmal(menggenapkan bulan syaban 30 hari).hal ini berkaitan dengan sabab (sebab dilaksanakannya suatu hukum) puasa Ramadhan, syara’ menjelaskan bahwa ru’yah al-hilâl merupakan sabab dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan tidak bisa diru’yah, maka puasa dilakukan setelah istikmâl bulan Sya’ban. Ru`yatul Hilâl dalam pengertian syara’ adalah : Melihat Al-Hilâl dengan mata atau penglihatan, pada saat terbenamnya Matahari pada petang hari ke-29 akhir bulan, oleh saksi yang dipercaya beritanya dan diterima kesaksiannya. Sehingga dengan itu diketahui bulan (asy-syahr) baru telah masuk.hadist yang berkenaan dengan hal penentuan awal dan akhir ramadhan ,sebagai berikut :

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (HR. Bukhari no. 1776 dari Abu Hurairah).

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Apabila kamu melihatnya (hila)l, maka berpuasalah; dan apabila kamu melihatnya, maka berbukalah. Jika ada mendung menutupi kalian, maka hitunglah (HR al-Bukhari no. 1767 dari Abu Hurairah)  

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian terhalang mendung, maka hitunglah tiga puluh bulan hari (HR Muslim no.1810, dari Abu Hurairah ra.)

لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari (HR. Bukhari no. 1773, Muslim no. 1795, al-Nasai no. 2093; dari Abdullah bin Umar ra.).

لاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ

Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang di antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari (HR. Abu Dawud no. 1982, al-Nasa’i 1/302, al-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425, dari Ibnu Abbas dan di shahih kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh al-Dzahabi.)

إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

sesungguhnya bulan itu ada dua puluh sembilah hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Dan janganlah kalian berbuka hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah.” (HR. Muslim 1797, HR Ahmad no. 4258, al-Darimi no. 1743, al-Daruquthni no. 2192, dari Ibnu Umar ra).

Dari seluruh hadits di atas, dapat diambil kesimpulan :

1. Rasulullah memerintahkan pelaksanaan ibadah shaum Ramadhan dan pelaksanaan ‘Idul Fitri dan ‘Idul ‘Adha berdasarkan ru`yatul hilâl, yaitu apakah al-hilâl sudah terlihat ataukah belum. Tidak semata-mata al-hilâl telah wujud ataukah belum. Inilah yang dipahami oleh para ‘ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Oleh karena mereka memberikan judul bab untuk hadits-hadits tersebut, yang menunjukkan pemahaman dan kesimpulan mereka terhadap makna lafazh-lafazh pada hadits-hadits tersebut. Di antaranya : Al-Imâm An-Nawawi memberikan bab untuk hadits-hadits di atas dalam kitab beliau Syarh Shahîh Muslim :
بَاب وُجُوبِ صَوْمِ رَمَضَانَ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ وَالْفِطْرِ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ وَأَنَّهُ إِذَا غُمَّ فِي أَوَّلِهِ أَوْ آخِرِهِ أُكْمِلَتْ عِدَّةُ الشَّهْرِ ثَلاَثِينَ يَوْمًا
Bab : Tentang kewajiban melaksanakan shaum Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilâl dan melaksanakan ‘Idul Fitri juga berdasarkan ru`yatul hilâl. Apabila al-hilâl terhalangi pada awal (bulan) atau akhir (bulan) maka hitungan bulan digenapkan menjadi 30 hari. Al-Imâm Ad-Dârimi dalam Sunan –nya memberikan bab :
بَاب الصَّوْمِ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ
Bab : Ash-Shaum berdasarkan ru`yatul hilâl

2. Rasulullah e melarang untuk memulai ibadah shaum Ramadhan atau merayakan ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha sebelum al-hilâl benar-benar terlihat oleh mata. Al-Imâm Ibnu Hibbân menyebutkan bab dalam Shahîh-nya :
ذكر الزجر عن أن يصام من رمضان إلا بعد رؤية الهلال له
“Penyebutan dalil tentang larangan untuk bershaum Ramadhan kecuali setelah al-hilâl terlihat.”

3. Apabila pada malam ke-30 al-hilâl tidak bisa dilihat, baik karena mendung, debu, atau yan lainnya, maka wajib menempuh cara istikmâl, yaitu menggenapkan bulan tersebut menjadi 30 hari. Al-Imâm An-Nawawi telah menyebutkan bab :
بَاب وُجُوبِ صَوْمِ رَمَضَانَ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ وَالْفِطْرِ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ وَأَنَّهُ إِذَا غُمَّ فِي أَوَّلِهِ أَوْ آخِرِهِ أُكْمِلَتْ عِدَّةُ الشَّهْرِ ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Bab : Tentang kewajiban melaksanakan shaum Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilâl dan melaksanakan ‘Idul Fitri juga berdasarkan ru`yatul hilâl. Apabila al-hilâl terhalangi pada awal (bulan) atau akhir (bulan) maka hitungan bulan digenapkan menjadi 30 hari.

4. Dalam satu bulan itu bisa jadi 29 hari, bisa jadi 30 hari.

5. Dalam penentuan masuk dan keluar bulan-bulan qamariyah, kaum muslimin tidak membutuhkan tulisan dan ilmu hisab. Karena untuk menentukannya, umat Islam cukup dengan cara ru`yatul hilâl atau istikmâl.

6. Landasan syar’i dalam penentuan Ramadhan, ‘Idul Fitri, dan ‘Idul Adha adalah dengan ru`yatul hilal atau istikmâl.
7. Hikmah dan fungsi keberadaan Al-Hilâl, adalah sebagai tanda-tanda waktu bagi umat manusia. Terlihatnya al-hilâl sebagai tanda dimulai dam diakhiri pelaksanaan shaum Ramadhan. Al-Imâm Ibnu Khuzaimah telah meletakkan bab :
باب ذكر البيان أن الله جل وعلا جعل الأهلة مواقيت للناس لصومهم وفطرهم إذ قد أمر الله على لسان نبيه عليه السلام بصوم شهر رمضان لرؤيته والفطر لرؤيته ما لم يغم قال الله عز وجل { يسألونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس } الآية
Bab : Penjelasan bahwasanya Allah Jalla wa ‘alâ menjadikan hilâl-hilâl sebagai tanda-tanda waktu bagi umat manusia dalam memulai ibadah shaum mereka atau ‘idul fitri mereka. Karena Allah telah memerintahkan melalui lisan Nabi-Nya  untuk memulai shaum bulan Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilâl dan ber’idul fitri juga berdasarkan ru`yatul hilâl jika memang al-hilâl tidak terhalangi. Allah berfirman : “Mereka bertanya kepadamu tentang hilâl-hilâl. Katakanlah: “itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia.”

8. Rasulullah tidak pernah mengajarkan untuk menjadikan ilmu hisab sebagai dasar penentuan Ramadhan, ‘Idul Ftri, dan ‘Idul Adha.

9. Kesalahan sebagian orang dalam menafsirkan sabda Nabi فاقدروا له (Perkirakanlah) bahwa yang dimaksud adalah menggunakan ilmu hisab. Karena makna lafazh tersebut telah ditafsirkan oleh Nabi sendiri, yaitu maknanya adalah menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari. Tentunya yang paling mengerti tentang makna dan maksud sabda Nabi adalah beliau sendiri. Sebaik-baik tafsir tentang makna dan maksud suatu hadits adalah hadits yang lainnya. Al-Imâm Ibnu Khuzaimah :
باب ذكر الدليل على أن الأمر بالتقدير للشهر إذا غم أن يعد شعبان ثلاثين يوما ثم يصام
Bab : Penyebutan dalil bahwa perintah untuk memperkirakan bilangan bulan apabila al-hilâl terhalangi (tidak terlihat) maksudnya adalah dengan menggenapkan bilangan bulan Sya’bân menjadi 30 hari, kemudian (esok harinya) bershaum. Al-Imâm Ibnu Hibbân :
باب ذكر البيان بأن قوله : ( فاقدروا له ) أراد به أعداد الثلاثين
Bab : “Penyebutan dalil bahwa makna sabda Nabi (فاقدروا له ) (perkirakanlah) adalah dengan menggenapkan menjadi 30 hari.

10. Nabi melarang untuk mendahului bershaum sebelum masuk bulan Ramadhan, baik sehari atau dua hari sebelumnya. Nabi  juga melarang bershaum pada hari ke-30 Sya’bân yang pada malam harinya al-hilâl tidak terlihat. 11. Nabi e mengajarkan kepada kaum muslimin untuk memperhatikan dan menghitung secara serius hari-hari bulan Sya’bân dalam rangka mempersiapkan diri melakukan ru`yatul hilâl Ramadhan. Al-Imâm Ibnu Hibbân meletakan sebuah bab :
ذكر البيان بأن المرء عليه إحصاء شعبان ثلاثين يوما ثم الصوم لرمضان بعده
Bab : “Penyebutan dalil bahwa wajib atas setiap muslim untuk menghitung hari-hari bulan Sya’bân sampai 30 hari, kemudian melaksanakan shaum Ramadhan keesokan harinya.”


Demikian kulasan tentang penentuan awal ramadhan hendakanya kita bisa memilih yang lebih bijak untuk menghadapi adanya perbedaan awal ramadhan dan tentunya kita pilih yang sesuai dengan cara yang dicontohkan rosullullah.agar ibadah kita diterima semoga bermanfaat.