Setelah kita
mengenal dan tahu tembat untuk bermiqat selanjutnya kita akan belajar tentang
apa yg harus dikerjakan setelah jamaah haji sampai kemiqa yaitu ihram, agar para jamaah
haji bisa melakukan ibadah haji dengan sempurna maka alangkah baiknya untuk
mengetahui apa itu ihram dan tata caranya.
PENGERTIAN IHRAM
Kata ihram diambil dari bahasa arab, dari kata “Al-haram”
yang bermakna terlarang atau tercegah. Dinamakan ihram karena seseorang yang
masuk kepada kehormatan ibadah haji dengan niatnya, dia dilarang berkata dan
beramal dengan hal-hal tertentu, seperti jima’, menikah, berucap ucapan kotor,
dan lain-sebagainya. Dari sini dapat diambil satu definisi syar’i bahwa ihram
adalah salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah) atau kedua-duanya
secara bersamaan [1].
Berdasarkan ini, jelaslah kesalahan pemahaman sebagian kaum
muslimin bahwa ihram adalah berpakaian dengan kain ihram, karena ihram adalah
niat masuk ke dalam haji atau umrah, sedangkan berpakaian dengan kain ihram
hanya merupakan satu keharusan bagi seorang yang telah berihram.
TATA CARA IHRAM
Telah diketahui bersama bahwa seorang yang berniat melakukan
haji atau umrah, diharuskan mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam melaksanakan hal tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh hadits-hadits yang
shohih, sebagai pengamalan darihadits Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ
“Ambillah dariku manasik kalian”.
1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan
perempuan, baik dalam keadaan suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Jabir Radhiyallahu ‘anhu.
فَخَرَجْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَيْنَا ذَاالْحُلَيْفَةِ
فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِيْ بَكْرٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَى
رَسُوْلِ اللهِ كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ : اغْتَسِلِيْ وَاسْتَثْفِرِِيْ بِثَوْبٍ وَ
احْرِمِيْ
“Lalu kami keluar bersama beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu tatkala sampai di Dzul Hulaifah, Asma binti ‘Umais melahirkan
Muhammad bin Abi Bakr, lalu ia (Asma) mengutus (seseorang untuk bertemu) kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan berkata): ‘Apa yang aku kerjakan?
Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Mandilah dan
beristitsfarlah [2] kemudian ihram.” [Riwayat Muslim (2941) 8/404, Abu Daud
no.1905, 1909 dan Ibnu Majah no.3074]
Apabila tidak mendapatkan air maka tidak perlu bertayammum,
karena Allah Subhanahu wa Ta’alal menyebutkan tayamum dalam bersuci dari hadats
sebagaimana firmanNya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا
قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا
فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدُُ مِّنكُم
مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا
صَعِيدًا طَيِّبًا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika
kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); ” [Al
Maidah :6]
Maka hal ini tidak bisa dianalogikan (dikiaskan) kepada yang
lainnya, juga tidak ada contoh atau perintah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk bertayammum, apalagi kalau mandi ihram tersebut bertujuan untuk
kebersihan. Memang perintah mandi tersebut adalah untuk kebersihan, dengan
dalil perintah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Asma bintu Umais
yang sedang haidh untuk mandi sebagaimana dalam hadits diatas.
2. Disunnahkan memakai minyak wangi ketika ihram,
sebagaimana dikatakan oleh ‘Aisyah.
كُنْتُ أُطَيِّبُ النَّبِيَّ لإِحْرَامِهِ
قَبْلَ أَنْ يُحْرِمَ وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوْفَ بِاْلبَيْتِ.
“Aku memakaikan wangi-wangian kepada nabi untuk ihramnya
sebelum berihram dan ketika halalnya sebelum thawaf di Ka’bah” [HR. Bukhary
no.1539 dan Muslim no. 1189].
Dan hal itu hanya diperbolehkan pada anggota badan, bukan
pada pakaian ihram, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَلْبِسُوْا ثَوْبًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ
وَ لاَ الْوَرْسُ
“Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi
za’faran dan wars.” [Muttafaqun alaih].
Kalau kita meninjau permasalahan memakai minyak wangi pada
ihrom maka terdapat dua keadaan:
1. Memakainya sebelum mandi dan berihram, ini diperbolehkan.
2. Memakainya setelah mandi dan sebelum ihram, dan minyak
wangi tersebut tidak hilang sampai setelah melakukan ihram. Ini dibolehkan oleh
para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan
pendapatnya.
Dalil dibolehkannya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا أَرَادَ أَنْ
يُحْرِمَ يَتَطَيَّبُ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ ثُمَّ أَرَى وَبِيْصَ الدَّهْنِ فِيْ رَأْسِهِ
وَ لِحْيَتِهِ بَعْدَ ذَلِكَ رواه مسلم
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau ingin
berihram memakai wangi- wangian yang paling wangi yang beliau dapatkan kemudian
aku melihat kilatan minyak di kepalanya dan jenggotnya setelah itu”.[HR.Muslim
no.2830 ].
Dan Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata pula:
كَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلَى وَبِيْصَ اْلمِسْكِ
فِيْ مَفْرَقِ رَسُوْلِ اللهِ وَ هُوَ مُحْرِمٌ
“Seakan akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di
bagian kepala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau dalam
keadaan ihram “. [HR. Muslim no. 2831 dan Bukhari no. 5923].
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ditanya tentang dua
permasalahan seputar pemakaian minyak wangi dalam ihram yaitu:
1. Apabila seseorang memakai wangi-wangian di badannya yaitu
di kepala dan jenggotnya, lalu minyak wangi tersebut menetes atau meleleh ke
bawah, apakah hal ini berpengaruh atau tidak?
Jawab.
Tidak berpengaruh, karena perpindahan minyak wangi tersebut
dengan sendirinya dan tidak dipindahkan, dan juga karena tampak pada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya tidak menghiraukan kalau minyak
wangi tersebut menetes karena mereka memakainya pada keadaan yang
dibolehkan.[3]
2. Kemudian jika seorang yang berihram (muhrim) akan
berwudhu dan dia telah mamakai minyak rambut yang wangi, maka tentu akan
mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, jika dia lakukan maka akan
menempellah minyak tersebut pada kedua telapak tangannya walaupun hanya
sedikit, maka apakah perlu memakai kaos tangan ketika akan mengusap kepala
tersebut?
Jawab.
Tidak perlu, bahkan hal itu berlebih-lebihan dalam agama dan
tidak ada dalilnya, demikian juga tidak perlu mengusap kepalanya dengan kayu
atau kulit, cukup dia mengusapnya dengan telapak tangannya karena ini termasuk
yang dimaafkan. [4]
3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai
sarung dan selendang, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
لِيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِىْ إِزَارٍ وَ
رِدَاءٍ وَ نَعْلَيْنِ
“Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan
menggunakan sarung dan selendang serta sepasang sandal.” [HR. Ahmad 2/34 dan
dishahihkan sanadnya oleh Ahmad Syakir]
Diutamakan yang berwarna putih berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
خَيْرُ ثِيَابِكُمُ اْلبَيَاضِ فَالْبَسُوْهَا
وَكَفِّنُوْا فِبْهَا مَوْتَكُمْ
“Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka
kenakanlah dan kafanilah mayat kalian padanya” [HR. Ahmad, lihat Syarah Ahmad
Syakir 4/2219, dia berkata: isnadnya shahih]
Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Manasik (hal. 21):
“Disunnahkan berihram dengan dua kain yang bersih, jika keduanya berwarna putih
maka itu lebih utama. Dan dibolehkan ihram dengan segala jenis kain yang di
mubahkan dari katun shuf (bulu domba) dan lain sebagainya. Juga dibolehkan
berihram dengan kain warna putih dan warna-warna yang diperbolehkan yang tidak
putih, walaupun berwarna-warni”. [5]
Sedangkan bagi wanita tetap memakai pakaian wanita yang
menutup semua auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan.
4. Disunahkan berihram setelah shalat, sebagaimana dalam
hadits Ibnu Umar dalam shahih Bukhary bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
أَتَانِيْ الَّليْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّيْ
فَقَالَ : صَلِّ فَىْ هَذَا الْوَادِىْ الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةً فِىْ حَجَّةٍ
“Tadi malam utusan dari Rabbku telah datang lalu berkata:
“Shalatlah di Wadi (lembah) yang diberkahi ini dan katakan: “Umrotan fi
hajjatin.”
Dan hadits Jabir Radhiyallahu anhu :
فَصَلَّىْ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ الْمَسْجِدِ
ثُمَّ رَكِبَ الْقَصْوَاءَ حَتَّى إِذَا اسْتَوَتْ بِهِ نَاقَتَهُ عَلَىْ الْبَيْدَاءِ
أَهَلَّ بِالْحَجِّ
“Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di
masjid (Dzulhulaifah) kemudian menunggangi Al-Qaswa’ (nama onta beliau) sampai
ketika ontanya berdiri di al-Baida’ , beliau berihram untuk haji”. [HR.Muslim].
Maka yang sesuai dengan Sunnah, lebih utama dan sempurna
adalah berihram setelah shalat fardhu, akan tetapi apabila tidak mendapatkan
waktu shalat fardhu maka terdapat dua pendapat dari para ulama:
Pendapat Pertama : Tetap disunnahkan shalat dua rakaat dan
ini pendapat jumhur berdalil dengan keumuman hadits Ibnu Umar.
صَلِّ فَىْ هَذَا الْوَادِىْ
(shalatlah di Wadi ini)
Pendapat Kedua : Tidak disyariatkan shalat dua rakaat, ini
pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sebagaimana beliau katakan dalam Majmu’
Fatawa 26/108: “Disunnahkan berihram setelah shalat, baik fardhu maupun
tathawu’ (sunnah) kalau ia berada pada waktu (shalat) tathawu’ (sunnah) menurut
salah satu dari dua pendapat. Pada pendapat yang lain: kalau dia shalat fardhu
maka berihram setelahnya, dan jika tidak maka tidak ada shalat yang khusus bagi
ihram dan ini yang rajih.”
Dan beliau berkata di dalam Ikhtiyarat hal. 116: “Dan
berihram setelah shalat fardhu, kalau ada, atau (setelah shalat) sunnah
(nafilah), karena ihram tidak memiliki shalat yang khusus.”
5. Berniat untuk melaksanakan salah satu dari tiga manasik,
dan niat tersebut disunnahkan untuk diucapkan. Yaitu dengan memilih salah satu
dari bentuk ibadah haji: ifrad, qiran dan tamatu’ sebagaimana yang dikatakan
Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ عَامَ حَجَّةِ
الْوَدَاعِ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ عُمْرَةٍ
وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ أَهَلَّ رَسُوْلُ اللهِ بِحَجٍّ فَأَمَّا مَنْ أَهَلَّ
بِعُمْرَةٍ فَحَلَّ عَنْهُ بَعْدَ قُدُوْمِهِ وَ أَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ أَوْ
جَمَعََ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَلَمْ يَحِلُّوْا حَتَّى كَانَ يَوْمَ النَّحَرِ
(متفق عليه)
“Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada tahun haji wada’ maka ada diantara kami yang berihram dengan umrah
dan ada yang berihram dengan haji dan umrah dan ada yang berihram dengan haji saja,
sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berihram dengan haji saja,
adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal setelah datangnya [6] dan yang
berihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan umrah tidak halal (lepas
dari ihramnya) sampai dia berada dihari nahar [7]. [Mutafaq alaih]
Seorang yang manasik ifrad mengatakan:
لَبَيْكَ حَجًَّا atau لَبَيْكَ الَّلهُمَّ حَجًّا
dan seorang yang manasik tamatu’ mengatakan:
لَبَيْكَ عُمْرَةً
atau لَبَيْكَ الَّلهُمَّ عُمْرَةً
dan ketika hari tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan:
لَبَيْكَ حَجًّا atau لَبَيْكَ الَّلهُمَّ حَجًّا
dan sunnah yang manasik Qiran menyatakan:
لَبَيْكَ عُمْرَةً و حَجًّا
6. Talbiyah yaitu membaca:
لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ
لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَنِعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ
لَكَ
Labbaika Allahumma labbaik labbaika laa syariika laka
labbaik Innal hamda wani’mata laka wal mulk laa syariikaa laka dan yang
sejenisnya.
6.1. Waktu Talbiyah
Waktu talbiyah dimulai setelah berihram ketika akan
melakukan perjalanan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hajinya, berkata Jabir Radhiyallahu ‘anhu.
حَتَّى إِذَا اسْتَوَتْ بِهِ نَاقَتَهُ
عَلَىْ الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ بِالْحَجِّ فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيْدِ لَبَّيْكَ اللهم
لَبَّيْكَ ……
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai membaca
talbiyah ketika telah tegak ontanya di al-Baida beliau ihlal (ihram) dengan
haji lalu bertalbiyah dengan tauhid, labbaika allahumma labaik ……” [HR Muslim]
6.2. Bacaan Talbiyah
Adapun bacaan talbiyah yang ma’tsur dalam hadits-hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
a.
لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ ,لَبَّيْكَ
لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَنِعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ
لَكَ
b.
لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَ سَعْدَيْكَ وَ الْخَيْرُ
بِيَدِكَ وَ الرُّغَبَاءُ إِلَيْكَ وَ الْعَمَلُ (متفق عليه من تلبية ابن عمر
c.
لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ , لَبَّيْكَ
لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَنِعْمَةَ لَكَ (عن عائشة رواه البخارى
d. Talbiyah yang nomor “a” ditambah kalimat:
لَبَّيْكَ ذَا الْمَعَارِجِ لَبَّيْكَ ذَا
اْلفَوَاضِلِ (حديث جابر رواه مسلم)
6.3. Sebab dan maknanya
Sebab disyariatkannya talbiyah adalah dalam rangka menjawab
panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana dalam al-Qur’an surah al-Hajj
ayat 27.
وَأِذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ
رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,
niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta
yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” [al-Hajj 22:27]
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata dalam menafsirkan :
“Ketika Allah Azza wa Jalla memerintahkan Ibrahim Alaihissallam untuk
mengkhabarkan manusia agar berhajji, dia berkata:
يَا أَيُّهَا النَّاِس إِنَّ رَبَّكُمْ
اتَّخَذَ بَيْتًا وَ أَمَرَكُمْ أَنْ تَحُجُّوْهُ فَاسْتَجَابَ لَهُ مَا سَمِعَهُ مِنْ
حَجَرٍ أَوْ شَجَرٍ أَوْ أَكْمَةٍ أَوْ تُرَابٍ أَوْ شَيْئٍ قَالَوْا لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ
لَبَّيْكَ (رواه ابن جرير 17\106)
“Wahai manusia sesungguhnya Rabb kalian telah membangun satu
rumah (ka’bah) dan memerintahkan kalian untuk berhaji kepadanya. Lalu apa saja
yang mendengarnya, baik batu-batuan, pepohonan, bukit-bukit, debu atau apa saja
yang ada, menerima panggilan beliau ini lalu mereka berkata لَبَيْكَ الَّلهُمَّ لَبَيْكَ …… [H.R Ibnu Jarir
17/106]
Ibnu Hajar berkata: ” Ibnu Abdil Barr berkata bahwa sejumlah
dari Ulama menyatakan: “Makna Talbiyah adalah jawaban terhadap panggilan
Ibrahim Alaihissallam ketika memberitahukan manusia untuk berhaji”. [9]
Adapun makna dari kata-kata dalam talbiyah tersebut adalah :
(اللهم) : Wahai Allah
(لَبَيْكَ) : Adalah penegas
yang memiliki ma’na baru (lebih), maka saya mengulang-ulang dan menegaskan bahwa saya
menjawab atau menerima panggilan Rabb saya dan tetap dalam keta’atan kepada-Nya
(لاَ شَرِيْكَ لَكَ)
: Tidak ada satupun yang menyamai Engkau (Allah) dalam segala sesuatu
(لَبَيْكَ) : Sebagai penegas
bahwa saya menerima panggilan haji tersebut karena Allah, bukan karena pujian,
ingin terkenal, ingin harta, dan lain-lain, akan tetapi saya berhaji dan
menerima panggilan tersebut karena Engkau saja.
(ِإنَّ الْحَمْدَ وَ الِّنعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ):
Sesungguhnya saya berikrar dan mengimani bahwa semua pujian dan nikmat itu
hanyalah milik-Mu demikian juga kekuasaan
(لاَ شَرِيْكَ لَكَ)
:Yang semua itu tidak ada sekutu bagiMu
Kalau kita melihat makna kata-kata yang ada dalam talbiyah
tersebut, didapatkan adanya penetapan tauhid dan jenis-jenisnya sebagaimana
yang dikatakan oleh Jabir (أَهَلَّ بِالتَّوْحِيْدِ)
(Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertalbiyah dengan tauhid”). Hal ini
tampak kalau kita mentelaah dan memahami makna kata-kata tersebut, lihatlah
dalam kata-kata
(لَبَيْكَ اللهم لَبَيْكَ لَبَيْكَ لاَ شَرِيْكَ
لَكَ لَبَيْكَ) terdapat peniadaan kesyirikan dalam peribadatan, kemudian (لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَيْكَ)
terdapat tauhid rububiyyah karena kita telah menetapkan kekuasaan yang mutlak
hanya kepada Allah Azza wa Jalla semata, dan hal itupun mengharuskan seorang
hamba untuk mengakui terhadap tauhid uluhiyyah, karena iman kepada tauhid
rububiyyah mengharuskan iman kepada tauhid uluhiyyah.
Dan dalam kata (إنَّ الْحَمْدَ وَ
الِّنعْمَةَ لَكَ) terdapat penetapan sifat-sifat terpuji pada Dzat, dan bahwa
perbuatan Allah Azza wa Jalla adalah hak, hal ini merupakan tauhid asma’ dan
sifat Allah Azza wa Jalla.
Kalau demikian keharusan orang yang talbiyah maka dia akan
selalu merasakan keagungan Allah dan akan selalu menyerahkan amal ibadahnya
hanya untuk Allah semata bukan hanya sekedar mengucapkan tanpa dapat merasakan
hakikat dari talbiyah tersebut.
6.4. Pelaksanaan Talbiyah
Talbiyah ini diucapkan dengan mengangkat suara bagi kaum
laki-laki sebagaimana perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
أَتَانِيْ جِبْرِيْلُ فَأَمَرَنِيْ أَنْ
آمُرَ أَصْحَابِيْ أَنْ يَرْفَعُوْا أَصْوَاتَهِمْ بِالتَّلْبِيَّةِ
“Jibril telah datang kepadaku dan dia memerintaahkanku agar
aku memerintahkan sahabat-sahabatku agar mengangkat suara mereka dalam
bertalbiyah”.
Dan tidak disyari’atkan bertalbiyah dengan berjama’ah, akan
tetapi apabila terjadi kebersamaan dalam talbiyah tanpa disengaja dan tidak
dipimpin maka hal itu tidak mengapa. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para shahabatnya bertalbiyah dalam satu waktu, padahal jumlah mereka
sangat banyak, maka hal tersebut sangat memungkinan terjadinya talbiyah dengan
suara yang berbarengan. Akan tetapi mengangkat suara dalam talbiyah ini jangan
sampai mengganggu dan menyakiti dirinya sendiri sehingga dia tidak dapat terus
bertakbir.
Sedangkan untuk wanita tidak disunahkan mengeraskan suara
mereka bahkan mereka diharuskan untuk merendahkan suara mereka dalam
bertalbiyah.
6.5. Waktu Berhenti Talbiyah.
Terdapat perbedaan pendapat para ulama dalam penentuan waktu
berhenti talbiyah bagi orang yang berumroh atau berhaji dengan tamatu’ menjadi
beberapa pendapat:
Pendapat Pertama: Ketika masuk Haram (kota Makkah), dan ini
pendapat Ibnu Umar, Urwah dan Al Hasan serta mazdhab Maliki. Mereka berdalil
dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan An Nasa’ai yang lafadznya;
كَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا دَخَلَ أَدْنَىْ
الْحَرَمِ أَمْسَكَ عَنْ التَّلْبِيَّةِ ثُمَّ يَبِيْتُ بِذِيْ طَيْ وَيُصَلِّى بِهِش
الصُّبْحَ وَيَغْتَسِلُ وَيُحَدِّثُ أَنَّ النَّبِيْ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ
“Ibnu Umar ketika masuk pinggiran Haram menghentikan
talbiyah, kemudian menginap di Dzi thuwa. Beliau sholat shubuh di sana serta
mandi dan beliau berkata bahwa Nabipun berbuat demikian”
Pendapat Kedua: Ketika melihat rumah-rumah penduduk Makkah
dan ini pendapat Said bin Al-Musayyib
Pendapat Ketiga: Ketika sampai ke Ka’bah dan memulai thawaf
dengan menyentuh (istilam) hajar aswad, ini pendapat Ibnu Abbas, Atha’, Amr bin
Maimun, Thawus, An-Nakha’i, Ats-Tsaury, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq serta
mazdhab Hanafi. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Abbas secara marfu’:
كَانَ يُمْسِكُ عَنِ التَّلْبِيَّةِ فِيْ
اْلعُمْرَةِ إِذَا اسْتَلَمَ الْحَجَرَ
“Dia menghentikan talbiyah dalam umoh setelah menyentuh
(istilam) hajar aswad” [HR Abu Daud,At Tirmidzy dan Al Baihaqy, tetapi
dilemahkan oleh Al-Albany dalam Irwa’ 4/297]
Dan juga hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya
dengan lafazh:
اعْتَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ ثلاثَا عُمَرَ
كُلَّهَا فِيْ ذِيْ اْلقَعْدَةِ فَلَمْ يَزَلْ يُلَبِّيْ حَتَّى اسْتَلَمَ الْحَجَرَ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan umrah
tiga kali, seluruhnya di bulan dzul qa’dah dan beliau terus bertalbiyah sampai
menyentuh (istilam) hajar aswad” [HR Ahmad dan Baihaqi denan sanad yang lemah
karena ada Hajaaj bin Abdullah bin Arthah dan dilemahkan oleh Al-Albanny dala
Irwa’ 4/297]
Mereka juga berkata: “Karena talbiyah adalah memenuhi
panggilan untuk ibadah maka dihentikan ketika memulai ibadah, yaitu thawaf.”
Dan ini pendapat yang dirajihkan oleh Syaikul Islam [10] dan Ibnu Qudamah [11]
akan tetapi yang rajih adalah pendapat pertama. Berdasarkan penjelasan dari
Ibnu Umar bahwa Rasulullah juga melakukan hal itu, ini menunjukkan bahwa Ibnu
Umar berlaku demikian karena melihat Rasululloh telah melakukan. Pendapat ini
dirajihkan oleh Ibnu Khuzaimah. [12]
Demikian juga waktu haji terdapat beberapa pendapat ulama.
Pertama : Menghentikannya ketika berada di Arafah setelah tergelincirnya
matahari dan ini pendapat Aisyah, Sa’ad bin Abi Waqash, Ali, Al-Auza’i,
Al-Hasan Al-Bashry dan madzhab Malikiyah. Berdalil dengan hadits:
الحَجُّ عَرَفَةُ
“Haji itu adalah wuquf di Arafah”
Maka kalau telah sampai Arafah, habislah pemenuhan
panggilan, karena telah sampai kepada inti dan rukun pokok ibadah tersebut.
Akan tetapi dalil ini lemah karena bertentangan dengan riwayat bahwa Rasululloh
masih bertalbiyah setelah tanggal 9 Dzuljhijjah tersebut.
Kedua : Menghentikannya ketika melempar jumroh aqobah dan
ini pendapat jumhur, akan tetapi mereka berselisih menjadi dua pendapat.
a. Menghentikan di awal batu yang di lempar dalam jumroh
aqobah dan ini pendapat kebanyakan dari mereka, dengan dalil hadits Al-Fadl bin
Al Abbas
كُنْتُ رَدِيْفَ النَبَيِ مِنْ جَمْعِ إِلَى
مِنَى فَلَمْ يَزَلْ يُلَبِّيْ حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ (رواه الحماعة)
“Aku membonceng nabi dari Arafah ke Mina dan terus menerus
bertalbiyah sampi melempar jumroh Aqobah”. [HR Jama’ah]
dan hadits Ibnu Mas’ud dengan lafadz:
خَرَجْتُ مَعَ رسول الله فَمَا تَرَكَ التَّلْبِيَّةَ
حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ إِلاَّ أَنْ يُخلِطَهَا بِتَكْبِيْرِ أَوْ تَهْلِيْلٍ.
“Aku berangkat bersama Rasulullah dan beliau tidak
meninggalkan talbiyah sampai beliau melempar jumrah Aqobah agar tidak tercampur
dengan tahlil atau takbir” [HR Thohawi dan Ahmad dan sanadnya dihasankan oleh
Al-Albani dalam Irwa’, /2966].
Pendapat ini dirajihkan oleh Syakhul Islam Inu Taimiyah dan
beliau menyatakan: Dan secara ma’na, maka seorang yang telah sampai Arafah-
walaupun telah sampai pada tempat wuquf ini- maka dia masih terpanggil
setelahnya kepada tempat wukuf yang lainnya yaitu Muzdalifah dan kalau dia
telah wukuf di Muzdalifah maka dia terpanggil untuk melempar jumrah, dan kalau
telah memulai dalam melempar jumrah maka telah selesai panggilannya [Majmu’
Fatawa 26/173]
b. Menghentikannya di akhir lemparan dalam Jumrah Aqabah,
ini pendapat Ahmad dan sebagian pengikut Syafi’i serta dirojihkan oleh Ibnu
Khuzaimah dengan dalil lafadz hadits Fadhl.
أَفَضْتُ مَعَ النَّبِي
n مِنْ عَرَفَةَ فَلَمْ يَزَلْ يُلَبِّي حَتَّى رَمَى
جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ يُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حِصَاةٍ ثُمَّ قَطَعَ التَّلْبِيَّةَ مَعَ
آخِرِ حِصَاةٍ (رواه ابو خزيمة)
“Aku telah keluar bersama Nabi dari Arafah lalu beliau terus
bertalbiyah ampai melempar jumroh Aqobah, Beliau bertakbir setiap lemparan
batu, kemudian menghentikan talbiyah bersama akhir batu yang dilempar” [HR Ibnu
Khuzaimah dalam Shohihnya dan beliau berkata :” ini hadits shahih yang
menjelaskan apa yang belum jelas dalam riwayat- riwayat yang lain].
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun
V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Muzakirat syarah umdah hal 65 dan syarhul mumti’
6/67
[2]. Istitsfar adalah suatu usaha untuk mencegah keluarnya
darah dari kemaluan orang yang haidh atau nifas dengan cara mengambil kain yang
memanjang yang diletakkan pada tempat darah tersebut dan dilapisi oleh bahan
yang tidak tembus darah yang diambil ujung-ujungnya untuk diikatkan di
perutnya. Tetapi pada zaman sekarang ini telah ada softex (pembalut wanita)
yang dapat menggantikannya . Lihat Syarah Muslim 8/404
Sumber:
https://almanhaj.or.id
No comments:
Post a Comment